Selasa, 25 Februari 2014

"KEKUASAAN" (Yuk Kita Ngaji Episode ke-4)


Segenggam Kekuasaan lebih berharga dari sekeranjang kebenaran. Bahkan segudang kebenaran sekalipun. Karena dalam sejarah, kebenaran sangat tergantung dari mereka yang berkuasa.

Dalam panggung kehidupan, yang paling mudah adalah menjadi penonton. Seorang penonton dengan mudah mengomentari bahkan menyalahkan terhadap suatu peristiwa sejarah. Namun demikian, seorang penonton tidak pernah ditulis dengan tinta sejarah. Karena mereka sebenarnya bukan siapa-siapa. Nothing ! Untuk itu, para santri HARUS menjadi pemain yang sesungguhnya. Karena hanya pemainlah yang memiliki kekuasaan yang hakiki. Dengan demikian, kebenaran yang hakiki lebih terjaga keberadaannya.

Berkuasa itu artinya menaklukkan berbagai subjek hingga menghantarkan kepada kemenangan. Dan menaklukkan diri sendiri adalah kemenangan yang paling akbar.

Kita sering mendengar pepatah yang berbunyi “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir” Itulah kalimat yang sudah tak asing lagi terdengar ditelinga kita.

Pengorganisasian atau pun strategi dalam suatu medan perjuangan sangat dibutuhkan dalam rangka mewujudkan tujuan menjadi nyata. Mewujudkan sejarah yang ingin menjadi nyata melalui strategi yang telah tertulis, pastinya akan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Harus ada tahapan-tahapan yang harus dilewati dan dijalani. Karena di alam batin para pahlawan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu dimaknai sebagai pendakian sejarah.


Kita akan sampai ke puncak kalau kita selamanya punya energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita akan terhenti begitu kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi dan rute, nafas dan arah, adalah kekuatan fundamental yang selamanya membuat kita terus mendaki, selamanya membuat hidup terus bertumbuh.

Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita butuhkan. Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di ketinggian semakin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah kita memperoleh nafas untuk terus mendaki. Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang jarak memberi kita kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusi energi secara seimbang dan proporsional dalam jarak tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang tersedia. Dengan begitu kita bisa mengukur posisi ketinggian maksimum yang mungkin kita capai pada pandakian yang kita lakukan.

Semangat Menempuh Belantara Kehidupan !

Senin, 24 Februari 2014

KISAH INSPIRATIF : Petani dan Kudanya

Alkisah jaman dahulu kala ada seorang petani miskin yang hidup dengan seorang putera nya. Mereka hanya memiliki seekor kuda kurus yang sehari-hari membantu mereka menggarap ladang mereka yang tidak seberapa. Pada suatu hari, kuda pak tani satu2 nya tersebut menghilang, lari begitu saja dari kandang menuju hutan.
Orang-orang di kampung yang mendengar berita itu
berkata:
“Wahai Pak tani, sungguh malang nasibmu!”.
Pak tani hanya menjawab, “Malang atau beruntung? Aku tidak tahu ”
Keesokan hari nya, ternyata kuda pak Tani kembali ke kandangnya, dengan membawa 100 kuda liar dari hutan.
Segera ladang pak Tani yang tidak seberapa luas dipenuhi oleh 100 ekor kuda jantan yang gagah perkasa. Orang2 dari kampung berbondong datang dan segera mengerumuni “koleksi” kuda2 yang berharga mahal tersebut dengan kagum. Pedagang2 kuda segera menawar kuda2 tersebut dengan harga tinggi, untuk dijinakkan dan dijual. Pak Tani pun menerima uang dalam jumlah banyak, dan hanya menyisakan 1 kuda liar untuk berkebun membantu kuda tua nya.
Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu
berkata:
“Wahai Pak tani, sungguh beruntung nasibmu!”.
Pak tani hanya menjawab, “Malang atau beruntung? Aku tidak tahu ”
Keesokan hari nya, anak pak Tani pun dengan penuh semangat berusaha menjinakan kuda baru nya. Namun, ternyata kuda tersebut terlalu kuat, sehingga pemuda itu jatuh dan patah kaki nya.
Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu
berkata: “Wahai Pak tani, sungguh malang nasibmu!”.
Pak tani hanya menjawab, “Malang atau beruntung? Aku tidak tahu ”
Pemuda itupun terbaring dengan kaki terbalut untuk menyembuhkan patah kaki nya. Perlu waktu lama hingga tulang nya yang patah akan baik kembali. Keesokan hari nya, datanglah Panglima Perang Raja ke desa itu.
Dan memerintahkan seluruh pemuda untuk bergabung menjadi pasukan raja untuk bertempur melawan musuh di tempat yang jauh. Seluruh pemuda pun wajib bergabung, kecuali yang sakit dan cacat. Anak pak Tani pun tidak harus berperang karena dia cacat.
Orang-orang di kampung berurai air mata melepas putra-putra nya bertempur, dan berkata: “Wahai Pak tani, sungguh beruntung nasibmu!”.
Pak tani hanya menjawab, “Malang atau beruntung? Aku tidak tahu ”
Kisah di atas, mengungkapkan suatu sikap yang sering disebut: non-judgement. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan untuk memahami rangkaian kejadian yang diskenariokan Sang Maha Sutradara. Apa2 yang kita sebut hari ini sebagai “kesialan”, barangkali di masa depan baru ketahuan adalah jalan menuju “keberuntungan”. Maka orang2 seperti Pak Tani di atas, berhenti untuk “menghakimi” kejadian dengan label2 “beruntung”, “sial”, dan sebagainya.
Karena, siapalah kita ini menghakimi kejadian yang kita sunguh tidak tahu bagaimana hasil akhirnya nanti.
Seorang karyawan yang dipecat perusahaan nya, bisa jadi bukan suatu “kesialan”, manakala ternyata status job-less nya telah memecut dan membuka jalan bagi diri nya untuk menjadi boss besar di perusahaan lain. Maka berhentilah menghakimi apa yang terjadi hari ini, kejadian kejadian PHK , Paket Hengkang , Mutasi tugas dan apapun namanya itu. . . . karena .. sungguh kita tidak tahu apa yang terjadi kemudian dibalik peristiwa itu.
” Hadapi badai kehidupan sebesar apapun , Alloh SWT tahu kemampuan kita.


"Jangan Mengeluh Terhadap Taqdir Allah SWT"

Rabu, 19 Februari 2014

INFORMASI PENDAFTARAN SANTRI BARU ASSHIDDIQIYAH 2014

MUKADDIMAH 
Pondok Pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada Bulan Rabiul Awal 1406 H ( Bulan Juli 1985 M ) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ. Dalam kapasitasnya sebagai lembaga Pendidikan, Keagamaan, dan Kemasyarakatan, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah senantiasa eksis dan tetap pada komitmennya sebagai benteng perjuangan syiar Islam. Kini dalam usianya yang lebih dari seperempat abad, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah telah membuka 11 Pesantren yang tersebar di beberapa daerah : Kedoya - Jakarta, Batu Ceper Tangerang, Cimalaya - Karawang, Serpong - Tangerang, Cijeruk - Bogor, Musi Banyuasin - Sumsel, Way Kanan - Lampung, Gunung Sugih - Lampung, Cianjur - Jawa Barat.

 TRILOGI PESANTREN 
1. Membentuk Pribadi Muslim yang berakhlak mulia
2. Membangun kemampuan santri berbahasa Arab dan Inggris
3. Penguasaan Ilmu Pengetahuan Umum dan Ilmu Agama

VISI PESANTREN
Sebagai lembaga yang mampu membentuk dan menyiapkan kader serta ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, berwawasan Global, mampu mentransformasikan ilmunya ke dalam bahasa masyarakat dengan perilaku akhlak karimah

MISI PESANTREN 
Menyelenggarakan Pendidikan berbasis Agama Islam, Teknologi Modern, dan Ekonomi Kerakyatan mulai dari pendidikan Usia Dini Hingga Pendidikan Tinggi

PROGRAM PENDIDIKAN
1. Madrasah Tsanawiyah/MTs ( Terakreditasi A)
2. Sekolah Menengah Pertama/SMP ( Terakreditasi A)
3. Madrasah Aliyah/MA (Terakreditasi A)
4. Sekolah Menengah Atas/SMA ( Terakreditasi A)
5. Sekolah Menengah Kejuruan/SMK ( Terakreditasi A) Program Otomotif, Bisnis dan Manajemen, Multimedia, TKJ ( Asshiddiqiyah Batu Ceper dan Karawang)
6. Madrasah Ibtidaiyah (Asshiddiqiyah Karawang)
7. Madrasah Diniyah
8. Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah berbeasiswa program S1 (Konsentrasi Syariah, Ilmu Al-Qur’an dan Tarbiyah)
9. Pesantren DIKTERAPAN (Pendidikan Terpadu Anak Harapan) berbeasiswa, menampung anak yatim, anak

Senin, 17 Februari 2014

IKHLAS (Yuk Kita Ngaji Episode ke-3)

Ikhlas itu seperti surah Al-Ikhlas, tak ada kata ikhlas di dalamnya. Ikhlas tak terlihat, tak tergambarkan. Ia hanya terasa didalam hati.

Penamaan surat dalam al-Quran ada dua cara,

Pertama, penamaan surat berdasar salah satu kata dalam surat tersebut.

Ini yang banyak kita jumpai dalam al-Quran. Seperti surat al-Baqarah, karena ada kata tersebut di beberapa ayat: 67, 68, dan 69 di surat tersebut. Dinamakan surat Ali Imran, karena di ayat 33 & 35 terdapat kata tersebut. Demikian pula surat-surat lainnya, seperti an-Nisa,.. al-Lahab, al-Falaq, an-Nas, dll. Semua kata itu ada dalam surat tersebut.

Kedua, penamaan surat berdasarkan maknanya

Tidak banyak surat yang penamaannya berdasarkan maknanya. Hanya ada beberapa saja. Diantara yang terkenal adalah surat al-Ikhlas dan surat al-Fatihah.

Jika kita perhatikan, dari ayat pertama hingga ayat keempat dalam surat al-Ikhlas, tidak ada satupun yang menyinggung kata al-Ikhlas. Demikian pula dalam surat al-Fatihah. Dari ayat pertama hingga ayat ketujuh, tak ada kata al-Fatihah. Tapi mengapa dinamakan surat al-Ikhlas? Dan mengapa pula dinamakan surat al-Fatihah?

Jawabannya kembali kepada maknanya.

Kemudian, tentang mengapa dinamai surat al-Ikhlas?

Kata ikhlas merupakan turunan dari kata kha-la-sha yang artinya murni atau bersih. Dari akar kata ini, ada dua alasan yang disampaikan oleh Imam Ibnu Utsaimin,

وسميت سورة الإخلاص لأمرين الأمر الأول أن الله أخلصها لنفسه فليس فيها إلا الكلام عن الله سبحانه وتعالى وصفاته والثاني أنها تخلص قائلها من الشرك إذا قرأها معتقدا ما دلت عليه ووجه كونها مشتملة على أنواع التوحيد الثلاثة وهي توحيد الربوبية وتوحيد الألوهية وتوحيد الأسماء والصفات

Dinamakan surat al-Ikhlas karena dua hal,

Pertama, karena dalam surat tersebut Allah khusus menceritakan tentang diri-Nya. Sehingga di dalam surat ini, tidak ada keterangan apapun selain keterangan tentang Allah subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya.

Kedua, surat ini mengajarkan tentang prinsip ikhlas bagi orang yang membacanya, sehingga dia menjauhi kesyirikan. Apabila dia baca dengan meyakini kandungannya dan isinya yang mencakup tiga macam tauhid, tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa shifat.

[Fatawa Nur ’ala ad-Darb, volume 5, no. 2]. Tidak jauh beda dengan keterangan beliau, adalah keterangan Fakhrur Rozi dalam tafsirnya, ketika beliau menyebutkan alasan penamaaan surat al-Ikhlas,

ولأن من اعتقده كان مخلصا في دين الله، ولأن من مات عليه كان خلاصه من النار

“Karena orang yang meyakininya akan menjadi ikhlas dalam menjalankan agama Allah, dan karena orang yang mati dengan ikhlas, dia akan bersih (dijauhkan) dari neraka.” (Tafsir ar-Razi, 17/293).

Sabtu, 15 Februari 2014

MEMBELI WAKTU

Pada suatu hari, seorang Ayah pulang dari bekerja pukul 21.00 malam. Seperti hari-hari sebelumnya, hari itu sangat melelahkan baginya. Sesampainya di rumah ia mendapati anaknya yang berusia 8 tahun yang duduk di kelas 2 SD sudah menunggunya di depan pintu rumah. Sepertinya ia sudah menunggu lama.

“Kok belum tidur?” sapa sang Ayah pada anaknya.

Biasanya si anak sudah lelap ketika ia pulang kerja, dan baru bangun ketika ia akan bersiap berangkat ke kantor di pagi hari.

“Aku menunggu Papa pulang, karena aku mau tanya berapa sih gaji Papa?”, kata sang anak.

“Lho, tumben, kok nanya gaji Papa segala? Kamu mau minta uang lagi ya?”, jawab sang ayah.

“Ah, nggak pa, aku sekedar..pengin tahu aja…” kata anaknya .

“Oke, kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp.400.000. Setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi gaji Papa satu bulan berapa, hayo?!”, tanya sang ayah.

Si anak kemudian berlari mengambil kertas dari meja belajar sementara Ayahnya melepas sepatu dan mengambil minuman.

Ketika sang Ayah ke kamar untuk berganti pakaian, sang anak mengikutinya.

“Jadi kalau satu hari Papa dibayar Rp 400.000 utuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp 40.000 dong!”

“Kamu pinter, sekarang tidur ya..sudah malam!”

Tapi sang anak tidak mau beranjak. “Papa, aku boleh pinjam uang Rp 10.000 nggak?”

“Sudah malam nak, buat apa minta uang malam-malam begini. Sudah, besok pagi saja. Sekarang kamu tidur.”

“Tapi papa..”

“Sudah, sekarang tidur” suara sang Ayah mulai meninggi.

Anak kecil itu berbalik menuju kamarnya.

Sang Ayah tampak menyesali ucapannya. Tak lama kemudian ia menghampiri anaknya di kamar. Anak itu sedang terisak-isak sambil memegang uang Rp 30.000.

Sambil mengelus kepala sang anak, Papanya berkata, “Maafin Papa ya. Kenapa kamu minta uang malam-malam begini.. Besok kan masih bisa. Jangankan Rp.10.000, lebih dari itu juga boleh. Kamu mau pakai buat beli mainan kan?”

“Papa, aku ngga minta uang. Aku pinjam…nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajanku.”

“Iya..iya..tapi buat apa??” tanya sang Papa.

“Aku menunggu Papa pulang hari ini dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Satu jam saja pa, aku mohon. Mama sering bilang, kalau waktu Papa itu sangat berharga. Jadi aku mau beli waktu Papa. Aku buka tabunganku, tapi cuma ada uang Rp 30.000. Tadi Papa bilang, untuk satu jam Papa dibayar Rp 40.000.. Karena uang tabunganku hanya Rp.30.000,- dan itu tidak cukup, aku mau pinjam Rp 10.000 dari Papa” Sang Papa cuma terdiam.

Ia kehilangan kata-kata. Ia pun memeluk erat anak kecil itu sambil menangis. Mendengar perkataan anaknya, sang Papa langsung terdiam, ia seketika terenyuh, kehilangan kata-kata dan menangis..

Ia lalu segera merangkul sang anak yang disayanginya itu sambil menangis dan minta maaf pada sang anak..

“Maafkan Papa sayang…” ujar sang Papa.

“Papa telah khilaf, selama ini Papa lupa untuk apa Papa bekerja keras. Maafkan Papa anakku” kata sang Papa ditengah suara tangisnya.

Si anak hanya diam membisu dalam dekapan sang Papanya. *******

Saya ingin bertanya kepada Anda saat ini (para orang tua/calon orang tua)

Sebetulnya, apakah alasan Anda untuk bekerja sangat keras dan mencari kesuksesan karir Anda?

Demi uang yang banyak? Atau sesungguhnya demi keluarga Anda?

Seringkali kita bekerja terlalu sibuk sehingga kita melupakan bahwa di akhir, keluargalah yang terpenting.

Tidak ada gunanya Anda sukses tapi pada akhirnya keluarga Anda telah meninggalkan Anda atau hubungan Anda dengan keluarga telah rusak.

Sesungguhnya, untung anak tersebut bicara dan komunikasi dengan orang tuanya untuk mencurahkan perasaannya.

Sering kali, anak cenderung diam dan bahkan tidak berbicara sama sekali tentang kondisinya kepada orang tua.

Ketika di tanya mereka hanya menjawab “Tidak ada apa-apa”

Bagaimana caranya Anda bisa menyelesaikan masalah jikalau Anda bahkan tidak tahu masalahnya dimana?

Hal ini sering kali terjadi pada anak dan khususnya terjadi pada anak di masa remaja.

Mereka merasa diabaikan/ditinggalkan, tidak di cintai, tidak dihargai oleh orang tuanya sendiri..

(SUMBER :@davinhd)

SMP DAN EMAIL

Cerita ini berawal ketika seorang pemuda melamar menjadi cleaning service di sebuah perusahaan TI (Teknologi Informasi). Perawakannya yang kecil sangat mirip dengan anak SMP walaupun usianya sudah dua puluh tahun. Tetapi bukan hanya penampilannya, pemuda itu benar-benar cuma lulusan SMP. Makanya, dia memilih melamar jadi cleaning service saja. Hari itu adalah hari yang teramat berat bagi mantan anak SMP itu. Pertama-tama ia harus menjalani tes wawancara, kemudian tes penggunaan alat-alat pembersih modern yang tidak ia mengerti, belum lagi tatapan mata para pengawas yang terlihat seperti sangat meremehkan perawakannya yang mirip anak SMP. Akhirnya tes hari itu pun berakhir, seorang pegawai personalia menemuinya lalu berkata, "Oke, cukup untuk hari ini, tolong isi formulir ini. Jangan lupa untuk mengisi email, karena kami akan mengumumkan hasil tes ini lewat email. Pak, maaf, saya tidak punya email," Jawab pemuda itu. "Ya sudah, maaf juga, berarti Anda belum layak untuk bekerja di perusahaan teknologi informasi ini." kata pegawai personalia itu. Dengan kecewa, mantan anak SMP itu pulang ke rumahnya. Sampai di rumah, tiba-tiba tetangganya menemuinya. Tetangga itu bercerita bahwa ia punya sebuah pohon mangga yang berbuah lebat, tetangga itu meminta tolong pemuda itu untuk menjualkannya di pasar. "Nanti hasilnya 60 persen buat kamu, 40 persen buat aku. Gak banyak kok, paling-paling cuma sekitar 10 kg." Pemuda itu pun menyetujuinya dan segera membawa mangga-mangga itu ke pasar lalu menjualnya. Setelah semuanya terjual, pemuda itu menemui tetangganya lagi dan mengambil 60% bagiannya. Dia malah dapat ide, dia menemui tetangga lain yang masih punya pohon mangga lalu membelanjakan semua uangnya untuk membeli mangga tersebut dan menjualnya lagi ke pasar. Dia sangat senang ketika melihat uang di tangannya menjadi berlipat ganda. Hal ini akhirnya rutin ia lakukan. Bukan hanya mangga, mantan anak SMP itu mulai mencari alternatif lain. Rambutan dan buah-buahan lain juga turut masuk daftar dagangnya. Lambat laun, ia memiliki gerobak untuk membawa buah-buah itu. Semakin berkembang, sehingga kemudian ia bisa membeli mobil pick up pada tahun berikutnya. Lama-lama, bisnis dagangnya tumbuh besar. Ia akhirnya menjadi seorang distributor buah yang cukup kaya. Pada suatu hari seorang sales website dari perusahaan TI menemuinya dan menawarkan berbagai keuntungan jika membuat website. Di akhir perbincangannya, sales itu bertanya dengan sopan, "Kalau boleh tau, apa email bapak?" "Saya tidak punya email." jawab pemuda mantan anak SMP itu. "Wah, seharusnya pedagang sebesar bapak sudah punya email. apakah bapak tahu manfaat email?" tanya sales dengan sopan. Pemuda lulusan SMP itu menghela nafas sejenak lalu berkata, "Setahu saya, jika saya punya email, mungkin saat ini saya hanya menjadi seorang cleaning service di kantor Anda." (Sumber : @davinhd)

PROFIL KH. NOER MUHAMMAD ISKANDAR, SQ

Kiai Haji Noer Muhammad Iskandar SQ, dikenal sebagai pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta. Anggota DPR/MPR-RI ini terlahir dari pasangan Kiai Iskandar dengan Nyai Rabiatun. Yang menarik, ia tergolong berani dalam menerapkan prinsip kehidupan pesantren yang dikenal sangat tradisional di tengah kehidupan perkotaan yang cenderung modern.

Melihat sosok Kiai Noer Muhammad Iskandar, kita bagai menyaksikan suatu fenomena “perpindahan kebudayaan atau migrasi kultural. Gejala migrasi ini berlangsung intensif pada sejumlah anak pesantren yang lain. Kiai Noer bukanlah contoh sendirian dalam hal ini. Ada ratusan, bahkan mungkin ribuan, anak pesantren yang usai menyelesaikan pendidikan di lembaga tradisional itu “menyeberangi” sekat kultur dan geografis yang memisahkan mereka yang tinggal di desa dari alam perkotaan dengan cara pindah atau merantau ke kota-kota.

Kiai Noer memulai pendidikannya di pesantren tradisional Jawa Timur untuk kemudian sekolah di Jakarta dan mengembangkan pondok pesantren di kota besar dengan karakter budaya yang berbeda dengan kultur dasarnya. Karenanya, ketepatan pengetahuan akan peta sosiologis daerah akan sangat menentukan efektif tidaknya dakwah yang disampaikan. Makin rendah pengetahuan seorang santri akan peta simbolik masyarakat kota, akan tipis kemungkinan baginya untuk diterima dalam kelompok sosial yang di hadapinya.

Posisi seorang kiai, menurut KH Noer Muhammad Iskandar, persis seperti seorang sopir yang harus menjalankan mobil dengan lima gigi. Ia hanya menghitung secara pas kapan harus berjalan dengan gigi satu, dua, tiga, empat hingga lima. “Keterampilan untuk “pindah” secara cepat dari gigi satu ke gigi lain dituntut begitu rupa agar jalannya mobil tidak terhentak-hentak dan membuat penumpang di dalamnya mengalami kejutan simbolik,” dalih Kiai Noer saat ditemui seusai peluncuran bukunya Pergulatan Membangun Pondok Pesantren, di rumah makan Ayam Bakar Wong Solo, beberapa waktu lalu, didampingi istri tercintanya, Siti Nur Jazilah.

Yang Unik dari tokoh ini adalah, ia mendirikan sebuah pesantren seperti dalam tradisi “intelektualisasi” santri-santri Jawa. Artinya, ia tidak saja berhadapan dengan publik atau audiens yang seluruhnya abstrak dan anonim, tetapi juga suatu publik yang kongkret, yaitu para santrinya sendiri.

Dalam kasus tertentu, kiai, seperti Noer Muhammad Iskandar ini juga terlibat dalam bimbingan haji bagi kalangan elit dan menengah. Orang-orang yang dibimbing tidak jarang adalah seorang artis atau tokoh tertentu yang sudah sejak lama membangun perkenalan pribadi dengannya.

Perjalanan panjang

Upaya membangun pesantren di ibukota bukan tanpa perjuangan. Perjalanan dan perjuangan panjang pun harus dilalui dengan berbagai tantangan yang berat. Namun berkat dukungan dan dorongan yang begitu kuat dari Kiai Mahrus Ali, Pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Noer Muhammad Iskandar pun berhasil. “Ia banyak membuka wawasan dan cakrawala berpikir saya akan pentingnya pendidikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata Kiai Noer tentang Kiai Mahrus Ali.

Bukan hanya itu, dalam upaya membuka cakrawala berpikir dan memahami Al Quran, umumnya metode yang diterapkan di pesantren-pesantren berkembang dengan pendekatan dogmatis. Akibatnya, pemahaman Al Quran sebagai way of life seringkali menjadi terbatas dipahaminya, yaitu hanya menyentuh aspek ubudiyah. Sementara di sisi lain, kelompok akademisi yang berbasis di kampus sekuler, memahami Al Quran dengan pendekatan resionalistik.

“Mereka menempatkan Al Quran sebagai objek kajian akal, sehingga ayat-ayat yang tak mampu disentuh akal pikiran mereka, dengan mudah dipangkas. Bahkan ada kecenderungan, ketika dogma Al Quran harus bersinggungan dengan budaya lokal, tidak segan-segan kelompok ini mengalahkan dogma Al Quran,” katanya.

Kondisi inilah yang memperkuat dirinya untuk tidak bergabung dengan pondok pesantren, baik yang didirkan ayahnya, Kiai Iskandar, maupun di Pesantren Lirboyo kediri sebagai staf pengajar, melainkan ia merantau ke Jakarta untuk kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ).

Dari perjalanan waktu yang dihabiskan di PTIQ, Noer Muhammad Iskandar menarik kesimpulan bahwa seorang santri harus bisa membuka wawasan yang seluas-luasnya, untuk memahami simbol-simbol Al Quran lebih dari sekadar pemahaman ubudiyah. Begitu banyak ajaran Al Quran yang sampai kini belum tergali, dan tak akan pernah selesai tergali sampai kiamat. Maksudnya, bukan sekadar menggali atau mengkaji. Tapi esensi dan pemahamannya harus dikembalikan kepada langkah-langkah aktualisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pernikahan tanpa persiapan

Pria kelahiran Sumber Beras, Banyuwangi, Jawa Timur 5 Juli 1955, ketika usianya memasuki 27 tahun, tepatnya tahun 1982, Allah membukakan jodoh baginya. Noer Muhammad Iskandar menikah dengan Siti Nur Jazilah, putri Kiai H Mashudi, asal Tumpang, Malang, Jawa Timur. Nur Jazilah pernah memimpin pondok pesantren putri Cukir, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Pernikahan ini tanpa persiapan yang matang dan tanpa proses yang panjang. Pernikahan itu berlangsung khidmat. “Saya yakin, pernikahan ini karena memang panggilan Allah. Karena, terjadi ketika saya datang bersilaturahmi ke guru saya Kiai Mahrus Ali. Ia menyarankan agar saya segera menikah. Buat saya yang sudah berusia 27 tahun dikatakan telah wajib untuk menikah,” tutur KH Noer Muhammad Iskandar.

“Perjuangan hidup saya yang masih panjang membutuhkan seorang pendamping yang sejalan. Al hasil, saya menikah lebih banyak didasari pertimbangan nasihat guru. Bagi saya ini sebuah kehormatan dan saya pun mengamininya, Sam’an wa thaatan,” ujarnya yakin.

Bagi Noer Muhammad Iskandar, ada satu nasihat yang diberikan Kiai Mahrus Ali saat memberi khutbah nikah yang sampai sekarang menjadi renungan bagi dirinya, yaitu agar ia tidak kembali ke Banyuwangi atau ke Tumpang. “Saya juga tidak diperkenankan mengabdi di Lirboyo. Inti Nasihatnya saya harus kembali ke Jakarta,” paparnya.

“Sebagai seorang santri, saya dengarkan nasihat itu, meski tanpa bekal persiapan yang matang. Seminggu setelah pernikahan, saya kembali ke Jakarta bersama istri. Saat itu sebetulnya saya tidak siap. Jangankan tempat tinggal, untuk makan sehari-hari pun tidak ada gambaran yang jelas. Karenanya, hari-hari pertama kedatangan kami di Jakarta hanya bergantung pada teman-teman,” ucapnya jujur.

Ketika itu ia hidup dari satu rumah teman ke rumah teman lainnya, dengan alasan ingin memperkenalkan istri kepada teman-teman yang ada di Jakarta. Hampir satu minggu kami berkeliling ke teman-teman. “Akhirnya, kami pun harus memiliki tempat yang tetap setidaknya untuk istri. Dengan sangat terpaksa saya bicara dengan keponakan saya, Dra Marsidah Tahir, meskipun belum berkeluarga, tapi sudah punya kontrakan di Kampung Utan, Ciputat. Di sinilah istri saya titipkan, dengan alasan bisa menemaninya sebagai teman bicara dan berbagi cerita, sementara saya melakukan sesuatu yang bisa saya kerjakan,” kilahnya.

Dari Al-Muchlisin ke Asshiddiqiyah

Bersama dengan beberapa teman, KH Noer Muhammad Iskandar mendirikan Yayasan Al-Muchlisin di Pluit. Berbagai kegiatan pendidikan yang sudah mulai dirintis, terus ia tangani dengan sepenuh hati. Bahkan, kegiatan yang berawal dari remaja Masjid Al Muchlisin ini, telah berkembang menjadi madrasah Diniyah, yang lambat laun mulai mendapat simpati masyarakat. Bukan hanya itu, undangan ceramah juga mulai berdatangan kepada dirinya.

“Setelah tiga bulan istri dititip pada keponakan, akhirnya dengan berbekal rezeki dari Allah saya mulai mengontrak rumah di bilangan Kebon Jeruk. Rasa terima kasih kepada Mursidah saya rasa tidak cukup, tapi itu adalah sebuah kenyataan yang suka atau tidak telah menjadi warna-warni perjalanan hidup keluarga kami,” cetus Kiai Noer. Bila Allah ingin mengangkat derajat hambanya, ternyata tidak memerlukan waktu yang lama. “Sahabat saya Ir H Bambang Sudayanto, Kepala PPL Pluit, datang kepada saya. Ia bercerita tentang sukses pekerjaannya yang terkait dengan Pantai Mutiara Indah Kapuk. Kedatangannya kali ini ingin berterima kasih atas doa saya, ia bisa meraih sukses dengan pekerjaaannya. Sebagai ungkapan terimakasih, ia memberikan saya sebuah kios kecil di Pluit dan biaya untuk saya berangkat haji. Hadiah ini sangat mengharukan saya. Air mata pun tak terasa menetes. Ya Allah, Engkau telah membuka jalan kami,” ungkap Kiai Noer.

“Rupanya, sesuatu yang saya anggap besar, masih ada yang lebih besar. Ketika saya akan mengurus keberangkatan haji atas biaya dari H Bambang tahun 1983, pendaftaran sudah tutup. Namun saya tidak mau menunda keberangkatan, karenanya saya menemui kawan lama H Rosyidi Ambari, Asisten Menteri Agama saat itu,” kenangnya.

“Alangkah terkejut ia, karena memang sudah lama mencari-cari saya untuk diminta mengelola sebidang tanah di Kedoya untuk dijadikan lembaga pendidikan. Tanah ini diserahkan keluarga H Jaani kepada H Rosyidi untuk dibangun menjadi lembaga pendidikan Islam.

Untuk memberikan jawaban, seperti biasa KH Noer Muhammad Iskandar harus menunggu isyarat langit, istikhoroh. Isyarat yang ia dapatkan menunjukkan lahan itu memang baik dan prospektif. Meski begitu kepada H Rosyidi ia masih belum memberi jawaban menerima atau menolak. ia tetap akan menjawab tawarannya setelah kembali dari tanah suci. Saat itu ia baru memiliki satu orang anak, Noor Eka Fatimatuzzahra. Dalam hati kecilnya selalu bertanya kepada Allah, inikah yang disebut anugerah-Mu, Ya Allah.

“Untuk urusan yang besar ini peran Istri menjadi begitu besar, ia ikut menjaga lingkungan saya agar tetap tenang dalam mengambil keputusan, sehingga tidak salah langkah. Istri saya ibarat air yang selalu memberi kesejukan hidup kami. Ia juga memberi andil untuk hal-hal yang tidak dapat saya jangkau. Terutama dalam mendidik anak-anak. Bukan hanya itu ia juga bisa dijadikan teman berdiskusi yang baik untuk hal-hal besar yang saya pikirkan,” tuturnya.

“Setelah mendengar berbagai pertimbangan dari beberapa kiai dan guru-guru saya, semangat saya memang semakin mantap. Maka pada tahun 1884, saya memutuskan menerima tawaran itu. Saya menyatakan menerima itu kepada H Rosyadi Ambari. Namun ia membawa saya ke rumah H Djaani, sehingga lahan seluas 2000 meter wakaf H Djaani yang tadinya dipercayakan kepada H Rosyadi Ambari dialihkan kepada saya,” jelas Noer Muhammad Iskandar.

Langkah pertama yang ia tangani adalah membangun mushola kecil dari tripleks. Modal membangunnya dari bapak H Abdul Ghani, Putra ketiga H Djaani. Seperti kisah sukses pada umumnya Asshiddiqiyah pun merintis dengan keprihatinan, namun dalam keprihatinan ini ia punya keyakinan yang cukup kuat, bahwa kelak lembaga pendidikan ini akan bisa maju dan berkembang.Bahkan kini, di Kedoya, dari lahan wakaf yang seluas 2000 meter, telah berkembang menjadi 2,4 ha, yang di Batu Ceper sudah berkembang menjadi enam hektare, yang di Cilamaya menjadi 11 Hektare dan yang di Cijeruk menjadi 42 hektare. Semua cabang-cabang ini sudah dalam perencanaan besar untuk pengembangan Asshiddiqiyah masa depan.

“Bersama tokoh pendidikan dan para pengajar di Asshiddiqiyah, saya mencoba memikirkan masa depan pendidikan yang dibutuhkan masyarakat. Pertumbuhan yang begitu pesat, semata-mata karena keikhlasan semua orang yang terlibat di dalamnya,” ujarnya seraya bersyukur.

BIODATA

Nama : KH Noer Muhammad Iskandar

Tanggal Lahir : Sumber Beras, Banyuwangi, Jawa Timur 5 Juli 1955

Nama Isteri : Siti Nur Jazilah

Nama Ayah : Kiai Iskandar (Alm)

Nama Ibu : Nyai Rabiatun

Kegiatan : Pimpinan/Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah